Jumat, 30 April 2010

SURAT BWT POLI-TIKUS

SURAT BWT POLI-TIKUS
Menghitung langkah di jejaring amarah patah-patah. Nyeri khianat menjelang di sepanjang jalan. Selamat pagi perubahan institusi, selamat pagi jajaran birokrasi, kali ini janji bermuntahan muncrat dii sepanjang harap yang kau hampir dalam sewindu waktu. Tak sebentar waktu itu, masa yang telah dilangkahi dalam kehamilan ini. Siapa sudi punya bayi buruk rupa setelah sekian gerah sekian jengah sekian lelah. Jangan sampai bayimu cacat ayah. Jangan bayi ini tak sehat ibu. Lengking letih meninggi jerit perih terperah jua. Bayi ini lahir, jantungnya lemah, tangan berjari tiga, kaki satu setingah ah, bayi ini wujudnya tak seelok sejuta idam kita semua. Adakah ia lahir premature? Delapan tahun itu tak singkat. Bias kita menyuntik bermeru penuh giti pada si jabang bayi, lalu mengapa setiap embrio dilahirkan? Mengapa sejenjang inilah dipaksa menangis terawangi dunia? Tangisnya bukan menyambut warna-warni bumi, tetapi siang panjang pedih yang dieja cadal kanak-kanak di taman bermain, kelahiran ini jadi semirip aborsi yang sakiti rahim ibu setelah berjuta bakteri merayapi tubuhnya. Ah ayah jangan sampai ia serupa kotak pandora yang melegam mata pendora oleh asap hitam dari hela nafasnya. Membiak wajah. Ah, sudah merunut sebab meruntut maklum. Bila dimaklumkan pun meredamremuk peluh yang tak bisa bungkam. Panah-panah apalagi segera menghujani, disusul dentingan tencana megah bernyanyi memekakan, melelap sebaris kalap. Namun kekang itu tak juha memerangkap keliara-keliara yang tak juga leking, denyut-denyut sakit melindap, berkeliaran di sulaman benang-benang patah asa dan daya . kau kembali melipat makna dalam kata yang hanya membuat nanar mata percuma.

Matikan sudah, bahkan hentikan menghitung butiran-butiran marjan, apalagi menghitung pendulum jam yang semakin kesini semakin meledek menyeringai dengan kuasanya, sombong nyaring menghentak nadi-nadi seakan akhir dari semuanya. Pernah suatu ketika pun wajah itu jatuh lunglay bagai kapas kapas dihempaskan angin musim berganti kamarau. Semakin kering tandus dahaga kehausan. Terbesit pula kakinya bergerak-gerak menyimpulkan berlari dari pijakannya, untuk hal itu pula kaki ngilu kaku pada ketaktahuan arah tujuan. Dimana lagi wajah ini harus terpampang, saat madding-mading dipenuhi iklan-iklan produk, janji-janji yang tak pernah mati,pamphlet-pamflet kekuasaan, uh…tak ada lagi yang menarik dari wajahnya, semuanya telah penuh terisi. Waktu pun bergulir dengan segala pembaharuannya. Anehnya, wajah itu tetap saja tak menyibakan apa apa. Mau dibawa kemana lagi wajah itu? Antipati bersanding gengsi semakin mengkerutkan kulit wajahmu pun pula. Gugur, gugurkanlah diatas kemegahan yang terlihat, diatas gemerlap yang tak pernah dirasakan. Kelahiran ini mengorbankan berpuluh-puluh kuli-kuli pekerja, petani-petani, dan segala jenis cucuran keringat untuk kelahiran bayi premature ini.. Keringat itu kadang-kadang bungkam. antara keinginan dan cita-citanya, . keringatpun menjerit ketika wajah itu memaksa untuk sebuah terapi pengobatan kelahiran bayi premature ini. Mau diapakah bayi-bayi ini selanjutnya ?

Jabang bayi yang dibalut dengan kain-kain yang indah ditanami pula manik-manik untuk menutupi bentuk tubuh yang kurang sempurna. Namun tetap saja bisu, gagu, tangan setengah, kaki setengah, demikian adanya. Di akhir kedewasaannya, bayi-bayi itu kaku membisu tak mati tidak pula hidup. Dimana lagi wajahmu akan kau pampangkan ?


tulisan ini dibuat sebagai bentuk aksi tentang sistem birokrasi kampus yang angkuh
dibuat sekitaran tahun 2005-2006
oleh
pradewi tri chatami dan nur azis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar