Jumat, 30 April 2010

KONSISTENSI HUKUM HARUS DIJALANKAN

Legislatif,Eksekutif dan Yudikatif adalah tiga element penting dalam terselenggarannya suatu Negara yang sinergis. Pemerintahan tanpa peradilan tentunya akan sulit untuk menciptakan ketertiban. Begitupun sebaliknya peradilan tanpa pemerintahan maka suatu kemustahilan. Hokum dipahami sebegai produk kontrak social yang menstinya dijunjung tinggi. Namun dalam perjalanannya hukum sering kali tidak berfungsi. Kasus-kasus korupsi di Indonesia sering kali mengalami kebuntuan. Mungkin masih ingat dalam benak kita kasus pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) yang dilakukan oleh Edy Tanzil Negara dirugikan sebesar 1,3 triliun dan hingga saat ini actor pelakunya seperti hilang ditelan bumi.lalu baru-baru ini Artalita Suryani yang menyuap jaksa Urip Tri Gunawan hingga menyeret tiga nama hakim agung.terdakwa memberi suap sebesar 660 ribu dolar AS atau sekitaran 6 milyar rupiah lebih. Entah dengan cara apa tindak pidana korupsi di Indonesia bisa diberantas. Korupsi sepertinya telah menjadi “perusahaan” multy level marketing di negeri ini.namun jika pemerintah kita pesimistis untuk memberantasnya maka akan tercipta suatu determinisme massa yang menganggap lumrah dengan tindak pidana korupsi.
Inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia membuat masyarakat hilang kepercayaannya terhadap pemerintahan. Hokum dipandang sebagai lembaga yang hanya dimiliki oleh para penguasa. Masyarakat sepertinya telah muak dengan kasus-kasus korupsi di Indonesia namun begitu masyarakatpun cenderung apatis terhadapnya dan menganggapnya suatu angin lalu saja. Dalam hal ini pemerintah dalam mengembalikan citranya sebagai badan yang menjalankan proses hokum hendaknya konsisten dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Negara kita bukanlah tatanan imperialis dengan model otoritarian. Negara kita adalah Negara demokrasi dimana kedaulatan ada ditangan rakyat maka hendaknya pemerintahan ini sangat menjunjung tinggi pada kedaulatannya. Salah satu yang harus dibenahi adalah lembaga peradilan. Suatu lembaga yang menjungjung tinggi nilai-nilai hokum hendaknya terbebas dari praktek Korupsi,Kolusi dan Nepotisme ( KKN). Kasus Artalita adalah tamparan pahit bagi peradilan dinegara kita. Bagaimana bias seorang jaksa didikte oleh seorang Artalita Suryani.
“Apakah kita akan berkaca pada cina dengan menerapkan hukuman mati kepada para koruptor?”. pada data transparency international, Indonesia menduduki 130 artinya enam puluh posisi dibawah cina yang menduduki peringkat ke-70 negara terkorup di dunia. Dalam hal ini kita bias melihat bagaimana konsistensi cina terhadap penegakan hokum di negarannya. Hingga tercatat sekitaran 4000 para koruptor telah dijatuhi hukuman mati. Jumlah itupun bias jauh lebih besar dari angka yang tercatat. Lalu yang menjadi pertanyaan,” apakah mentalitas para pemimpin kita telah siap untuk menjatuhkan hukuman mati kepada para koruptor?”. Maka persoalan menjadi semakin rumit ketika dibenturkan kepada jaringan korupsi di negeri ini.”sebab korupsinya banyak koruptornya nihil”.sudah barang tentu butuh ketegasan dari pemerintah terhadap kasus tindak pidana korupsi ini.
Pemerintah seharusnya menganggap kasus ini bukan semata-mata sebagai problem individual tetapi sebaliknya kasus ini telah menjadi problem social. Budaya korupsi telah mengakar dari tingkat DPR sampai ke kelurahan hingga rukun tetangga. Jika hukuman mati diterapkan di Indonesia maka “berapa kepala yang harus dipenggal” di Negara ini. belum lagi untuk mengamandemen undang-undang yang sudah ada pastinya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk amandemen UU Bank Indonesia saja memerlukan biaya sebesar Rp.16,5 milyar, belum lagi persetujuan dari beberapa anggota DPR yang memakan waktu lama.
Dalam upayanya sejauh ini ada nilai positif yang telah ditempuh oleh pemerintah. Pertama, telah meratifikasi konvensi PBB menentang korupsi.kedua, kemajuan yang sangat signifikan dari kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan tertangkapnya sejumlah koruptor yang ditayangkan di media-media massa. Namun kembali jadi timbul pertanyaan,
“ sejauh mana pemerintah bias tegas dalam menindak actor-aktor korupsi yang sudah jelas-jelas tertangkap basah? Atau hanya akan bergelut pada wilayah keabsahan legalitas hukum yang tiada akhir hingga sang actor hilang ditelan bumi?”. Konsistensi hukum haruslah dijalankan oleh pemerintahan sekarang demi mengembalikan citra peradilan yang telah bobrok dinegara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar