Jumat, 30 April 2010

Pendidikan Tidak Pro Rakyat

Pendidikan Tidak Pro Rakyat
Merunut kepada sejarah, Indonesia diakui atau tidak lahir dari kepekaan kaum terpelajar yang diawali dari sebuah pendidikan. Kekritisan mereka terhadap reaksi dari realita yang ada untuk menentukan nasib sebangsanya dalam kungkungan belenggu pemerintahan Hindia-Belanda.

Dalam literature-literatur sejarah digambarkan tiga golongan “kasta” pada masanya, yakni : Eropa,Raja,Priyayi Dan Kawula. Dari keempat kasta inilah pemerintah pada saat itu memberikan pembedaan hak dan kewajiban. Yang mana setiap kebijakannya merugikan golongan pribumi, terutama sekali golongan kawula oleh politik Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). Yang walaupun keadilan masih jauh dengan apa yang diharapkan,namun Baron Van Hoevell (1848 ) dengan aksi demonstrasinya di Batavia ( Jakarta ) yang menuntut kepada raja belanda agar diberlakukan kebebasan pers, sekolah menengah untuk masyarakat dan perwakilan untuk hindia belanda di dewan Negara. Hingga dibukanya sekolah-sekolah karesidenan untuk pendidikan dan latihan anak-anak para pemerintah dan bangsawan setempat.

Kesempatan pribumi dalam mendapatkan pendidikan walaupun hanya golongan tertentu, namun membawa suatu perubahan yang berarti. Dengan lahirnya organisasi-organisasi pribumi seperti Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh Kyai Haji Samanhudi pada 16 Oktober 1905, budi utomo pada 20 mei 1908 dan Indische Partij dibentuk oleh Setiabudi (Douwes Dekker), Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara. . Ini menjadi tanda era kebangkitan nasional dari para kaum terpelajar dalam usaha penentuan nasibnya sendiri bagi bangsanya untuk mendapatkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa.

Dari fakta sejarah diatas menggambarkan bagaimana pentingnya suatu pendidikan dalam usahanya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia kepada masa depan yang lebih baik dalam menentukan nasibnya sendiri. Namun ironisnya biaya pendidikan 20 % dari APBN sebagaimana yang tertera dalam peraturan pemerintah Republic Indonesia tentang pendanaan pendidikan, asap jauh daripada panggang. malahan jika dibandingkan dengan rancangan anggaran pemilihan umum untuk 2009 yang diusulkan oleh komisi pemilihan umum (KPU) Rp.47,9 triliun lebih besar dari anggaran pendidikan yang diajukan pemerintah sekitar 12 persen sekitar Rp.44 triliun untuk tahun anggaran 2007. Dari dana yang dikemukakan tersebut akankah pemerintah nanti memperhatikan sebuah tatanan pendidikan yang merata?

Belum lagi praktek korupsi,sebagaimana yang disampaikan oleh massa Aliansi Pembaruan Pendidikan (APP) dalam aksi unjuk rasa peringatan hari pendidikan nasional 2007 di Istana Negara, Jakarta , Rabu (2/5) sebagaimana yang dilansir oleh Voice Of Human Right (VHR) dalam situs resminya.

Pada Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan Ayat (2) menyatakan, Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Perintah UUD 45 ini diperkuat lagi melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Pasal 5 Ayat (1) UU SPN menyebutkan, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1), Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat 1), serta Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat 2). Dari pasal diatas masyarakat kita sedikit bernafas lega untuk masalah pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) namun timbul permasalahan baru ketika tidak tersedianya buku-buku bacaan di sekolah setempat. Akhirnya para orang tua murid harus mengusahakan penyediaan buku pendidikan anaknya dengan kembali merogoh kocek pribadinya dimana harga buku satuan mencapai puluhan ribu rupiah. Belum lagi perintah UU SPN diatas tersebut jika pemerintah tidak ada uang maka kedua UU diatas tidak akan bias dilaksanakan. Pada akhirnya pendidikan hanya kembali dimiliki oleh orang-orang menengah keatas. Pendidikan pun menjadi milik golongan menengah keatas. Jika demikian keadaannya, sudahkah pendidikan kita berlandaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ? Akhirnya pendidikan pun hanya bisa dimiliki kaum menengah keatas tak jauh beda dengan jaman feodalislondo dulu. Si kaya makin kaya, si kismin makin miskin.merdekakah kita ?. N.Azis

tulisan ini dimuat di rostroom harian media indonesia edisi lupa lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar