Jumat, 30 April 2010

KERETA API SENJA UNTUK SA’ADAH

Untuk kali pertama aku menulis tentang sosok perempuan yang berani mengambil pilihan tentang hidupnya.Tak terbayangkan dizaman yang serba sulit, dalam terror jatuhnya perekonomian negeri. Seorang perempuan bertahan, menatap kesebuah Kereta Api seakan bayangan masa depan telah Nampak dihadapannya. Siang itu matari membakar telak kulitnya yang putih. Sawah yang menghijau tak alang sudah, jika didiamkan rerumput kelak akan memakan vitamin untuk padi-padi yang hendak menguning. Kala itu para petani sedang mengasog. Jika Kereta Api melintas angkuh disepanjang pesawahan, hatinya ikut berderak.kapankah ia pergi kesuatu tempat antah barantah. Berharap nasibnya akan lebih baik dari hari itu. Keyakinan selalu menghiburnya saat kakinya amblas dalam lelumpur dipetakan sawah. “Ya suatu saat aku akan menaiki Kereta Api itu”, ucapnya dalam hati. Bulir-bulir keringat jatuh sebening ketulusan jiwanya pada waktu yang selalu angkuh. Waktu yang dicacah demi panen untuk memenuhi kebutuhan si yang empunya sawah. Dari satu petak beburuh kepetak lainnya.ngasog,rambet,nyat
ut dan tandur. Dengan upah yang begitu minim, Ia tetap menjalaninya. Dimulai selepas shalat subuh, saat air sawah begitu dingin.siapapun pasti akan ngilu.Dengan berpakaian tangan panjang, rangkap-rangkap, untuk pelindung rasa gatal dari ujung-ujung padi yang mulai meninggi. Bertopikan cotom, serombongan buruh-buruh sawah mulai berderak saling berbisik dengan senda gurau. Pudar sudah suhu dingin sepagi itu. Sementara, di tiap jalanan yang dilaluinya gema bacaan qur’an sayu sendu berkumandang dari mulut anak-anak mereka yang belajar mengaji. Perempuan itu bernama Sa’adah. Ia lahir anak ke 3 dari 7 bersaudara. 4 saudara perempuan dan 3 saudara laki-laki. Ia lahir paling ayu diantara saudara-saudaranya. Tak heran jika teman laki-laki sekampung atau diluar kampungnya banyak meliriknya. Kala itu, perempuan seusianya rata-rata beburuh dipetakan sawah milik si yang empunya sawah. Namun banyak pula perempuan yang tidak pandai atau malas beburuh di sawah milik orang lain. Jika kecantikan menjadi asset jaman sekarang maka tidak berlaku pada zamannya. Kecantikan menjadi kutukan baginya. Banyak diantara rekannya menyayangkan ia mesti turun kesawah. Hanya saja zaman mengharuskan ia turun ke sawah. Kulitnya yang kuning keputihan begitu menyala dalam lelumpur. Sehingga banyak diantara rekan-rekannya selalu menyayangkannya. Namun bukan itu, kecantikan akan mendekatkan ia pada adat perjodohan. Inilah yang menjadi kutukan baginya. Sebab dikampungnya tidak ada lagi kesenangan pada zamannya selain kesawah dan mencetak batu bata. Itupun ia kerjakan selepas dari sawah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sekitaran 1965, sekitaran tragedy gestapu. negeri ini masih bergejolak tentang pertarungan falsafah apa yang akan diterapkan untuk bangsanya. Dari pertarungan falsafah ini, tak ayal mengorbankan nyawa beberapa orang. Baik yang dipandang penting ataupun rakyat biasa. seperti para petani yang ikut-ikutan pada salah satu falsafah harus menanggung derita atas peristiwa ini. Dari radio yang kala itu hanya tersedia dibalai desa terdengar berita bahwa dewan jenderal dan Presiden sedang mengalami kemelut. Imbas dari peristiwa ini merosotnya perekonomian negeri ini.dikota-kota terjadi antrian panjang untuk mendapat bahan bakar dan bahan pokok. Tak pelak lagi apa yang terjadi pada para petani desa.
Celakanya sa’adah hanya seorang petani biasa yang mesti manut pada orang tua yang teramat tegas. Walaupun ia tak mengerti tentang apa yang sedang terjadi di negerinya, namun dampak dari peristiwa itu bisa ia rasakan secara ekonomi. Teramat kaya jika penduduk waktu itu makan dengan beras sepenuhnya. Yang ada setiap harinya memakan jagung yang dicampur dengan nasi cakung. Lauknya jantung pisang yang diiris-iris lalu diosengnya dengan garam dan cabe rawit. Bunga kesturi adalah menu special untuk makan. Biasanya dioseng dengan campuran jantung pisang pula. Pakaiannya kain blacu atau bekas sisa dari karung terigu yang disambung-sambung. Begitulah sa’adah harus menjalani waktu pada zamannya. waktunya terasa lambat berkepanjangan sebab tantangan hidup yang kian berat. Setiap orang pastilah patuh pada waktu, begitupun sa’adah waktu itu.tak ada yang mesti disembunyikan. maka sa’adah pun menjalani setiap detiknya. Tak ada pilihan selain turun kesawah dan mencetak batu bata. Dikisahkan ada seorang petinggi dikampungnya. Sawahnya luas yang biasa dijadikan tempat beburuh bagi penduduk sekitar. Jika mobilnya lewat dijalanan,maka serta merta anak anak akan tiarap untuk menghirup sisa-sisa bau bensin yang kala itu masih terasa wangi sebab mobil dikampungnya masih teramat jarang.hanya petinggi seorang yang memiliki kendaraan mobil.
Adat colonial masih terasa dilingkungan keluarga sa’adah.Peran orang tua bukan sebagai teman. Tapi lebih kepada sosok raja dimana titahnya selalu benar, dan hak anak patuh kepadanya.Tak ada haknya jika anak bisa kongko sepuasnya dengan kedua orang tua. Sa’adah perempuan seorang yang gelisah pada zamannya. ia tak mengenal kartini,ia tak mengenal dewi sartika,apapula tentang liberal yang dibangun tiga serangkai.pun, mesti konon diceritakan bahwa van boemel seorang belanda telah melakukan aksi demonstrasi kepada pemerintah belanda untuk membangun sekolah pada pribumi jauh-jauh sebelum masa kemerdekaan. Namun yang dirasakan sa’adah jauh dari kisah sejarah yang teramat manis.Ia hanya mengenali reruncing sawah. kabut tebal yang mengiring langkahnya. rerumput yang meranggas dipetakan sawah. Serta murka ayah jika ia tak melakukan salah satu kegiatan rutinnya.mengaji,kesawah dan mencetak batu bata.Itulah sekelumit yang ia kenal.
Hingga suatu hari ia menyaksikan nasib kakak saudarinya yang bernama sakinah hendak dijodohkan dengan seorang lelaki yang tak dikenalnya. Nampak bodoh pula. Namun ia pintar mengambil hati orang tua sa’adah. Ini lelaki diceritakan demikian. Ayah sa’adah dan sakinah adalah agamawan yang ta’at hingga ia akan terpukau oleh remaja yang rajin kemesjid Tanpa menilai batas kekayaan dan batas intelektual sang pemuda. kisah cinta dipahami tak memerlukan itu semuanya. maka ayahanda sa’adah akan dengan rela menyerahkan anak gadisnya pada pemuda itu. Ayah sa’adah juga terkenal dengan perwatakan yang keras dan galak dikampungnya. Apalagi menyangkut urusan agama. Hingga jika suatu waktu ada anak yang menangis dikampungnya dan secara kebetulan ayah sa’adah sedang melintas dihalaman rumah anak yang sedang menangis itu. Maka serta merta anak itu diam sejanak. Anak kecilpun mengenal perwatakan ayah sa’adah. Ayah sa’adah pun tidak terlalu mementingkan urusan duniawi. Hampir seluruh kekayaannya ia tumpahkan untuk membangun masjid dikampungnya. Kayu-kayu bagus miliknya ia serahkan untuk membangun pilar-pilar masjid. Hingga pendidikan anak-anaknya lebih dipentingkan pada sekolah agama daripada sekolah bentukan pemerintah saat itu. Ia akan teramat murka jika anak-anaknya tidak berangkat mengaji. Ia pernah disangka sebagai gerombolan yang ingin membangun Negara diatas Negara. Dua sampai tiga hari mendiami sel lalu dibebaskan karena tidak terbukti. Itulah yang menyebabkan rasa hormat warga kampong sekitar akan sosok ayahanda sa’adah waktu itu. Sosok seorang ayah akibat trauma revolusi yang teramat genting.
Pendulum waktu akhirnya menghatam lelonceng tanpa kompromi. suatu sore, pemuda bernama khoeri diceritakan hendak melanjutkan niatnya untuk melamar Sakinah. Hari itu ruang tamu disusun sedemikian pula oleh sa’adah dan saudara saudarinya tanpa bersua. Seperti takdir yang mesti dijalani jika waktu itu telah datang. Setelah kursi dan meja disusun sedemikian rupa, tamu dari pihak laki-lakipun akhirnya setengah mengelilingi meja itu dan sisanya diisi oleh ayahanda sa’adah, ibunda dan sakinah. Peran ibu hanyalah symbol penegas bahwa sosok ibu pernah ada waktu itu. Sebab hak bersua seorang isteri masihlah sedikit. Sa’adah mengintip dibalik lubang-lubang bilik kamarnya. Memandangi wajah sakinah yang terus menunduk. Hati sa’adah bergetar mata nanarnya memelasi nasib sakinah yang harus patuh pada adat. Sa’adah membayangkan nasibnya kelak jika takdir itu tiba-tiba menghentaknya.
“kau tak boleh sepertiku” setibanya sakinah dikamar
“aku hanya patuh pada waktu, bukan pada ayahanda” jawab sa’adah
“waktu tetaplah waktu namun tetaplah titah ayahanda tak bisa kau tolak”
“waktu yang memiliki ku, waktu juga yang akan menghentikan” tegas sa’adah
“jangan pikir kau akan bunuh diri” sergah sakinah
“kehendaku adalah realita namun terkadang realita bukan kehendaku,aku benci!!” sa’adah berlari keluar
Dipematang sawah itu sa’adah mencurahkan segala kegalauan hatinya. Hidup yang dirasa mulai membosankan. Tak ubahnya seekor kerbau yang diperas dari pagi hingga sore. Terkerangkeng dalam adat yang salah kaprah. Tak ada kebebasan yang didapat. Takdirnya seakan terpetakan sedari kecil hingga kelak menginjak dewasa. Semenjak kecil ia belajar mangaji, hingga dewasa haruslah begini haruslah begitu sesuai dengan titah ayah. Seakan kedudukan tuhan digantikan oleh titah ayah. Sa’adah begitu kecewa dengan hidup.Tuhan seakan mati ditangan ayah. cukuplah diketahui hati. Pesawahan yang luas membentang dan cakrawala yang menguning menjadi saksi akan perasaan sa’adah waktu itu.
Saat malam tiba,dikampungnya lampu dibatasi sampai jam Sembilan tepat. Sisanya diganti dengan nyala diesel dan petromak. Namun tidak dirumah sa’adah. Setelah jam sembilan tepat tak adalagi suara. Kamar sa’adah dan sakinah tepat bersebelahan dengan kandang kambing. bisa setiap saat kambing itu menggesek-gesekan kulitnya pada bilik. Hingga bisa membuat suara gemerisik dan bilikpun menyembul kebagian dalam kamar sa’adah. Belum lagi suara kambing yang mengembik secara tiba-tiba. Dalam suasana malam sedemikian rupa, sa’adah berbisik pada sakinah
“kau mencintainya?”
“ini bukan tentang cinta” sergah sakinah
“lantas apa yang hendak kau perbuat?” balas sa’adah
Dalam suasana gelap itu, senggukan sakinah yang ditahan bantal lirih terdengar sangat pelan.
“menurutmu aku harus bagaimana,Dah?”
Keduanya diam, sunyi lirih terdengar dari suara jangkrik yang mengerik dan gesekan kulit kambing pada bilik-bilik kamar. Kedua perempuan itu membayangkan, bagaimana rasanya menyerahkan tubuhnya pada laki-laki yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Apalagi soal perasaan yang mesti ia tutup-tutupi sebelum ayahanda murka. Lamunan panjang kedua perempuan itu membawanya pada mimpi yang mengerikan disetiap tidur malamnya. Keduanya dibayangi setiap takdir yang hendak ia hadapi Suatu kelak nanti. Apakah keberuntungan ataukah malapetaka?

***
Suatu malam setelah adzan maghrib. Sakinah yang telah menikah beberapa hari dengan Khoer. Di ikat pada tiang ditengah rumah ruang keluarga. Mulutnya disumpal. Hingga sakinah tak bisa bergerak dan teriak. Ayahandanya menyuluti kulitnya dengan rokok. Alih-alih meminta bantuan pada ibu. Sebelum diikat, sakinah sempat meronta meminta perlindungan pada ibunya namun ibunya pun mendorong kehadapan ayahandanya. Cerita punya cerita, sakinah menolak malam pertama untuk berhubungan badan dengan khoer. Khoer mengadukan hal itu pada ayah. Sontak saja membuat ayahanda murka. Sa’adah yang mengintip dibalik bilik-bilik kamarnya gemetar, gerahamnya menggigit gemelutuk ketakutan. Hingga sa’adah buang air kecil ditempatnya. Kejadian yang menjadi mimpi buruk sa’adah.
Genap kala itu sa’adah berumur 16 tahun. Semenjak kejadian itu sesosok pemuda kerap kali hinggap dipikirannya.entah itu saat tandur dipesawahan atau saat hendak menjelang tidur. ia adalah teman kecilnya dari kampung tetangga. Keduanya pernah satu sekolah pada sekolah rakyat (SR) namun saat menjelang ujian Ia memilih mengembala kerbaunya tengah malam. Sebab, pagi harinya kerbau dipakai untuk membajak sawah. Kontan saja Ia tak dapat mengikuti ujian karna kelelahan menggembala kerbau. Berbeda dengan sa’adah yang dapat menyelesaikan pendidikan sekolah rakyatnya. Namun kala itu yang diingat sa’adah, sekolah hanya diperlukan untuk bisa baca tulis saja. Dengan peralatan grip, sa’adah masih teringat jika ia mendapatkan nilai sepuluh maka ditempelkannya grip itu pada pipinya agar nilai sepuluh itu bisa menempel dipipinya. Sebab pada grip, setelah selesai pelajaran maka dihapus pulalah apa-apa yang ditulis pada grip itu..Waktu itu belum tersedia kertas dan pensil,hanya dikota-kota tertentu saja. hingga semua siswa dengan sendirinya menggunakan daya ingat secara penuh. Dari semenjak sekolah rakyat itu sa’adah dan pemuda itu dipertemukan hanya pada kegiatan mengaji yang dilakukan setelah shalat maghrib. Dari situlah keduanya mengikatkan janji.
Pemuda itu bernama darun. Seorang pemuda yang ditinggal ayahnya semenjak kecil. Ibunya seorang petani yang sabar dan pandai menularkan ajaran-ajaran budi pekerti pada darun. Hingga darun tumbuh menjadi pemuda yang santun. Meskipun darun tak dapat menyelesaikan sekolah rakyat namun bakat otaknya diatas kemampuan rekan-rekannya. Beruntung darun punya paman yang selalu membawakan buku-buku bacaannya dari kota. Bermodalkan baca tulis darun pun rajin membawa buku-buku bacaannya kala menggembala kerbaunya. Mulai dari kisah surapati melati van java sampai kisah saijah dan adinda bahkan tentang ilmu pengetahuan dunia lainnya, tentang tujuh keajaiban dunia, ia lahap segala jenis bacaan. Namun kenyataan harus memisahkan mereka berdua. Darun mengikuti jejak pamannya berhijrah kekota. Dalam perjuangan dikota itulah darun bertukar pengalaman lewat surat dengan sa’adah. Dari tempat yang berbeda, keduanya bicara tentang kehidupannya masing-masing. Darun kala itu di kota berjuang mencari kerja. Dan sa’adah amblas dilelumpur sawah. Keduanya bicara dalam keheningan hijau sawah dan deru-deru mesin kota dalam sebuah surat.
Hidup sa’adach yang paling menyenangkan saat menerima surat dari darun.begitupun sebaliknya. Pun mesti ditutup rapat-rapat dari sepengetahuan ayahanda sa’adah
Dari semenjak itulah sa’adah tak aral oleh hidup. Hari-harinya dipenuhi harapan. Suatu hari nanti ia akan menaiki kereta api dengan ditemani darun sang pujaan hati. Yang akan merubah segenap kehidupannya. Saat ia menjalani hidup dengan kebebasannya. Saat ia melaksanakan ibadah dengan keikhlasannya. Pemuda itulah dalam surat berjanji akan membawa sa’adah hijrah kekota. Dalam keadaan yang dilingkupi mimpi buruk sakinah, sa’adah masih menaruh harapannya pada sosok pemuda yang bernama darun.
Malam kelam yang dilaluinya harus dibalut kepura-puraan bisu saat berhadapan dengan sang ayah. Seperti hari-hari biasanya sepagi buta itu sa’adah pergi kesawah. Namun dibalik bayang-bayang mimpi buruk semalam, ada harapan selembar surat dari darun. Hari itu sa’adah tandur disalah satu sawah milik kepala desa. Jaraknya cukup jauh dari desanya. Namun sebelum hendak kesawah sa’adah dipanggil ayahandanya,

“kamu lihat kakakmu semalam?”,Tanya ayahanda
Sa’adah hanya menggelengkan kepala,bisu
“jawab!!” bentaknya
“tidak lihat,pak” pelan sa’adah menjawab
“kelak kau harus manut apa titah ayahandamu, semua demi kebaikanmu. Jangan pernah meniru kelakuan kakakmu sakinah. Ingat!!!” tegas ayahanda
“saya ingat” jawab sa’adah singkat
“sehabis dari sawah dan mencetak batu bata jangan lupa mengaji” titah ayahanda
“baik pak” sa’adah menjawab lalu berangkat menyusuri jalanan yang biasa ia tapaki. Hatinya menggelora. Suhu yang dingin kini serupa api unggun di dadanya. Sa’adah berjalan tertunduk dan tiba-tiba ia tak sabar untuk membaca surat dari darun yang ia lipat dibalik kain samping yang digunakan untuk merangkap celana dari kain blacu. Sesampainya disawah matahari seperti sepakat dengan kedalaman jiwa sa’adah.kelabu. Dipematang sawah itulah sa’adah membuka surat dengan tahun 12 november 1965. perasaan ganjil mulai terasa ketika diawal surat diawali dengan salam pembuka yang menyatakan bahwa si penulis adalah pamannya darun. ,

“Dengan ini saya selaku pamannya darun berkewajiban memberi tahu bahwa saudara darun telah meninggal dunia akibat kecelakaan….adapun dengan ini, saya hendak menyampaikan surat yang belum sempat darun kirimkan kepada de sa’adah”

Dalam surat itu diceritakan bahwa darun meninggal akibat kecelakaan. Darun sempat bekerja sebagai kuli bangunan yang kala itu membangun salah satu pabrik pemintalan kain. Darun meninggal jatuh saat pengerjaan pondasi pabrik tersebut. Darun terpeleset jatuh masuk pada parit dalam yang hendak dibikin pondasi pabrik. Sementara mesin cor untuk pondasi tak bisa dihentikan selagi mengecor. Akhirnya darun pun tenggelam diantara coran pondasi pabrik pemintalan itu. Orang-orang teriak histeris bahkan ada orang yang stress akibat melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Jasad darun terkubur dipondasi pabrik pemintalan itu.
Sa’adah gemetar, suratnya ia remas lalu diselipkannya kedalam samping seperti sedia kala. Matanya kabur,detak jantungnya melemah.sesaat kemudian tak sadarkan diri. Beruntung rekan-rekan sa’adah sesaat kemudian menemukan sa’adah yang tergeletak di pematang sawah milik kepala desa. Setelah sadar, sa’adah telah berada di ruang tamu. Tak ada siapapun disana. Saat sa’adah diantarkan kerumah ayahhanda & ibunda sa’adah sedang berada disawah. Kompres yang menempel dikepala, air minum berada disampingnya. Ia bangkit mengambil air minum lalu teringat akan surat yang belum sempat ia baca. Ia ambil surat dari lipatan sampingnya,diam..

“De sa’adah kiranya dalam keadaan sehat wal afiat. Kakang disini alhamdulillah masih dapat lingdunganNya walaupun hidup dikota ternyata tak semudah hidup di desa. Kakang sekarang bekerja sebagai kuli bangunan untuk membangun pabrik pemintalan. Konon jika pabrik ini telah rampung kakang dapat menjadi karyawan pabrik ini. Kelak kakang akan balik kedesa pake seragam. Janji kakang untuk bawa de sa’adah menaiki kereta api akan segera terlaksana, maka dari itu de sa’adah bersabarlah didesa. Tak ada yang lebih dari itu. Kelak kakang akan datang pada ayahanda sa’adah dan melamar sa’adah. Tersayang kakangmu. Darun”

Dalam kesendiriannya itu sa’adah cekikikan sendiri. Lalu diangkatnya surat itu tinggi-tinggi dan dibacakannya keras-keras. Seperti orang yang sedang membacakan puisi. Sontak saja tetangga sa’adah berdatangan. Dalam waktu sekejap rumah sa’adah telah dikerumuni warga sambil bertanya satu sama lainnya. Sementara beberapa orang memegangi sa’adah sambil berkata “ nyebut sa’adah,nyebut…”. Sepulangnya dari sawah, ayahanda dan ibunda sa’adah nampak shok melihat keadaan sa’adah. Setengah tidak percaya atas apa yang terjadi pada diri sa’adah ayahanda sa’adah menggoyang-goyangkan tubuh sa’adah. Sementara ibunnya jatuh pingsan.

Semenjak kejadian itu, sa’adah telah dinyatakan hilang ingatan. Setiap harinya sa’adah gemar sekali kesawah bukan untuk tandur atau ngasog, namun untuk menunggui kereta hingga senja.
Wataknya yang penurut menjadi kebalikan dari sifat itu semuanya. Ayahandanya kerap kali dibuat bingung bukan kepalang. Satu waktu pernah ayahandanya dipukul menggunakan pacul. Pernah pula suatu waktu air yang baru mendidih disiramkanya pada ayahanda yang saat itu sedang istirahat sehabis dari sawah. Namun kebanyakan waktunya, sa’adah habiskan disawah untuk menunggu kereta hingga senja. Hingga para petani sudah tidak asing lagi melihat kegiatan sa’adah yang sesekali girang-sesekali teriak dipematang sawah saat kereta api melintas.

Tahun 2010, dunia masih tetap sama seperti yang dulu.energipun masih tetap sama seperti yang dulu.sebegini sebegini juga. Hanya saja ditahun ini dipuja segala-segala bentuk percepatan. Radio sudah kurang popular lagi. Televise sudah bukan barang istimewa lagi. Setiap rumah mesti memiliki televise. Guru-guru bukan hanya dikelas-kelas dan tidak hanya satu guru. Guru –guru kini bercokol ditelevisi,di line-line kabel. Orang bisa berbicara dari jarak jauh dengan menggunakan handphone. Orang berkirim surat hanya memerlukan beberapa detik dengan fasilitas email. Semua barang mesti memerlukan up to date. Orang-orang berdesingan menggunakan kendaraan bermotor. Pesawat berseliweran diatas langit yang kelabu. Cakrawala luas dikagumi oleh sebuah percepatan. Perlambang sebuah kemajuan. Namun berbeda dari itu semua, masih dikotakan sawah yang sama, sa’adah selalu hadir menunggu kereta senjanya yang tak pernah berhenti. Kini kulit sa’adah telah mengeriput. Dibalik matanya nampak jelas cakar ayam yang menggelayot. Punggungnya nampak bongkok. Suarannya parau pelan. Sa’adah tertatih-tatih menunggu kereta senjanya tepat waktu. Beberapa orang seusianya telah meninggal dunia namun ada pula yang masih menyaksikan kebiasaan sa’adah. Seorang diri sa’adah mengarungi hidup,sebab keluarganya telah lama meninggalkan sa’adah yang terlalu lelah mengikuti kata hati sa’adah. Siang itu matari membakar telak kulitnya yang putih. Sawah yang menghijau tak alang sudah, jika di diamkan rerumput kelak akan memakan vitamin untuk padi-padi yang hendak menguning. Sa’adah yang tua renta berdiri menunggu kereta api datang. Lalu ia membuka lipatan kain dan mengambil surat terakhir yang belum sempat ia kirimkan saat darun masih hidup. Tangannya bergetar, disobeknya pelan surat itu. Seperti mengenang masalalunya.Ia membaca kembali surat yang ditulisnya. Akibat penglihatannya yang sudah kepalang dimakan usia. Akhirnya surat itupun susah dibacanya. Ia menangis tersedu pelan. Terisak-isak serupa pesakitan. Angin yang mendesir diiringi deru angkuh kereta. Sa’adahpun teriak namun suaranya dilindas suara kereta yang menderu-deru. Ia jatuh dan nafasnya menghembus pendek. Suratnya melayang ke udara ditebak angin jatuh dilelumpuran sawah. Tertulis

“hal yang paling indah adalah saat aku memiliki harapan,dan mengenalmu adalah bukan suatu hal yang sia-sia selamat bertemu kelak.aku masih setia menunggu kereta yang akan menjemputku kelak.kekasihmu sa’adah”

Setiap kali bercerita tentang masalalunya orang tua itu berkaca-kaca. Ku ulurkan setangan padanya. Aku diam. Beliaupun diam. Hpku berdering, pesan singkat “Cepat”

/02 April 2010 jam 5:51/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar