Jumat, 30 April 2010

Mei 1860

Mei 1860. sore itu aku anggap sore yang cerah sempurna. Aku bayangkan duduk diserambi dengan sorot matahari yang menyapu halaman depan pekarangan rumah. Disitu nampak bocah-bocah bermain riang gempita. Gunung gemunung merenungi nasib anak-anak akan datang. Namun awan hitam berderak lambat seakan sepakat ingin menyelamatkan keriangan bocah-bocah. Adakah suasana yang lebih sempurna waktu itu ? sebab waktu seakan berhenti dibelahan bumi ini.
Sebentar, andai tuan Droogstoppel ada saat itu, mungkin ia akan merubah cara pandang tentang upaya penyelamatan semangat zaman yang tidak hanya dinilai dengan uang semata. Dan tuan Stern akan bermanis-manis dengan bocah-bocah disela kesibukannya. Semanis ia mendirikan perusahaan gula di hamburg.
Baik aku akan berhenti mencekau rambutku, sebab tuan Droogstoppel sebagai makelar kopi dan juga Stern seorang pedagang gula, mungkin pernah tahu. Jauh dari pulaunya, disuatu tempat yang pernah ada. Nasib penduduknya tak semanis gula yang dihasilkannya. Orang-orang dirampas tanahnya untuk dijadikan perkebunan gula. Satu bentuk pemerintahan yang hanya mengenal penguasa dan hamba, raja dan kawula. Para penguasa punya hak atas hamba-hambanya namun tidak sebaliknya. Bagi para penguasa dan raja “Tuhan sungguh maha-maha adil”. Namun bagi kawula menggema parau “ Tuhan sungguh-sungguh tidak adil”. Tak ada kebebasan. Setiap hari disuguhi martil-martil terror yang yang menganga. Dimana setiap saat bisa melahapnya dan menghujam nyali-nyali mereka. Gelap. Ilmu pengetahuan,hokum,hak bersuara dan segala hak yang menguntungkan hanya diperuntukan untuk penguasa dan raja. Sebagai kawula dipaksa untuk mengatur langkah untuk mengatur cacing-cacing yang ada dalam perutnya semata. Antara kawula yang satu dengan kawula yang lainnya saling bergantungan diakar yang lapuk.
Sayang tuan Droogstoppel telah ditakdirkan menjadi sosok makelar kopi yang pelit dan tuan Stern telah ditakdirkan menjadi sosok pedagang gula yang sangat sibuk. Sampai-sampai Ia tidak pernah mencicipi teh manis dari gulanya. Mungkin sore hari diberanda rumah. di negeri hamburg sana. Andai takdir merubahnya, mungkin tuan Droogstoppel akan membangun taman siswa untuk anak usia dini. Dan tuan Stern akan mengadopsi bocah-bocah itu. Ah tapi, hokum perdata belanda tak mengenal adopsi saat itu. Dan hak untuk sekolah harus menunggu hujan uang. Sungguh malang nasib anak-anak itu.
Aku masih betah duduk diserambi melihat keriangan bocah-bocah. Mereka berkejaran dengan kuda-kudaan dari batangan daun pohon pisang. Seorang berperan sebagai resident tujuh lainnya sebagai kawula. Satu orang resident mengejar tujuh orang kawula. Aku tertawa….
Aku tutup buku dengan anak judul lelang kopi maskapai dagang belanda. Tahun edar 1860. aku lihat keriangan anak-anak yang telah mendapatkan kebebasan dan hak-haknya. Mereka bermain sondah dengan riangnya. Sebelum waktu ashar datang untuk belajar mengaji. Sayup-sayup terdengar berita dari televise rumahku. Uang semburan Lumpur belum tuntas. Ada juga terdengar tentang fasilitas mewah penjara yang dilengkapi dengan karaoke,alat pijat refleksi,AC dan TV Flat serupa home theater.KPK & Century sampai iklan sabun mandi…sejenak aku tajamkan pendengaranku lalu kembali berbaur dengan bocah-bocah yang riang. Aku ambil nafas panjang, seperti Multatuli yang mengangkat penanya menciptakan tokoh-tokoh imajinernya. Aku berucap :
“mereka menjadi tuan Droogstoppel….menjadilah…”
“mereka menjadi tuang Stern…menjadilah…”
Aku tenggelam bersama keriangan bocah-bocah dipekarangan rumahku sendiri….bebaslah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar